Eksitensi Obeservatorium Bosscha sebagai salah satu lokasi penelitian antariksa di Indonesia kini kian meredup. Hal tersebut sejalan dengan semakin gemerlapnya kawasan Lembang menjadi wilayah bisnis wisata dan kuliner.
Observatorium Bosscha dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda dibangun pada tahun 1923.
Saat itu, Lembang dipilih sebagai lokasi paling cocok untuk penelitian antariksa karena berada di dataran tinggi yang relatif minim pencahayaan. Kini, kondisi di sekitar Bosscha sudah dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Padatnya penduduk di kawasan Lembang membuat intensitas cahaya dikawasan gerbang Pariwisata tersebut mengganggu penelitian dan pengamatan.
"Polusi cahaya sudah berlangsung 20 tahun. Kondisinya saat ini memang secara astronomis langit di Lembang, terang benderang, jadi kendala menghalangi pengamatan astronomi penelitian," kata salah seorang peneliti yang juga dosen ITB, Taufiq Hidayat saat ditemui di Lembang, belum lama ini.
Perlindungan
Upaya perlindungan pun sudah dilakukan. Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU No. 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008 Pemerintah penetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu objek vital nasional.
Namun perlindungan tersebut hanya sebatas wacana. Ancaman masih mengintai fungsi dan eksistensi Bosscha.
"Dalam Perda KBU No 1 tahun 2008 mengatur pencahayaan di daerah sekitar Bosscha. Implementasinya dengan penggunaan tudung lampu, kerapatan tidak bertambah, namun upaya tersebut efeknya kecil," papar Taufiq.
Meski berdampak pada penelitian dengan skala besar, namun polusi cahaya tidak berpengaruh pada bidang edukasi.
"Untuk pendidikan saja masih bisa dipakai, untuk mencetak akademisi masih layak. Tapi untuk penelitian besar tidak bisa," tegasnya.
Dengan kondisi sedemikian rupa, Taufiq mengatakan, Bosscha harus punya cabang dalam upaya memberikan kontribusi bagi ilmu astronomi di Indonesia. Padahal, pada Agustus 2013, muncul UU Keantariksaan yang isinya, Indonesia harus menguasai antariksa, sains, termasuk cuaca antariksa.
"Lokasinya di tempat tinggi, cukup kering, jumlah awan dalam setahun relatif sedikit, sejauh ini daerah paling cocok Nusa Tenggara Timur yang cocok," tambahnya.
Taufiq mengakui, untuk mendirikan sebuah lokasi penelitian antariksa membutuhkan dana yang tak sedikit. Namun, dia optimistis jika ada itikad baik dari pemerintah, perlahan nama Bosscha akan kembali diakui dunia.
"Minimal kita butuh dana Rp 500 miliar. Dengan kondisi kita punya teleskop yang cukup bagus. Karena saat ini tekhologi kita sudah jauh tertinggal dari negara seperti Thailand," tutupnya.
Sumber: Galamedia.
Observatorium Bosscha dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda dibangun pada tahun 1923.
Saat itu, Lembang dipilih sebagai lokasi paling cocok untuk penelitian antariksa karena berada di dataran tinggi yang relatif minim pencahayaan. Kini, kondisi di sekitar Bosscha sudah dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Padatnya penduduk di kawasan Lembang membuat intensitas cahaya dikawasan gerbang Pariwisata tersebut mengganggu penelitian dan pengamatan.
"Polusi cahaya sudah berlangsung 20 tahun. Kondisinya saat ini memang secara astronomis langit di Lembang, terang benderang, jadi kendala menghalangi pengamatan astronomi penelitian," kata salah seorang peneliti yang juga dosen ITB, Taufiq Hidayat saat ditemui di Lembang, belum lama ini.
Perlindungan
Upaya perlindungan pun sudah dilakukan. Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU No. 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008 Pemerintah penetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu objek vital nasional.
Namun perlindungan tersebut hanya sebatas wacana. Ancaman masih mengintai fungsi dan eksistensi Bosscha.
"Dalam Perda KBU No 1 tahun 2008 mengatur pencahayaan di daerah sekitar Bosscha. Implementasinya dengan penggunaan tudung lampu, kerapatan tidak bertambah, namun upaya tersebut efeknya kecil," papar Taufiq.
Meski berdampak pada penelitian dengan skala besar, namun polusi cahaya tidak berpengaruh pada bidang edukasi.
"Untuk pendidikan saja masih bisa dipakai, untuk mencetak akademisi masih layak. Tapi untuk penelitian besar tidak bisa," tegasnya.
Dengan kondisi sedemikian rupa, Taufiq mengatakan, Bosscha harus punya cabang dalam upaya memberikan kontribusi bagi ilmu astronomi di Indonesia. Padahal, pada Agustus 2013, muncul UU Keantariksaan yang isinya, Indonesia harus menguasai antariksa, sains, termasuk cuaca antariksa.
"Lokasinya di tempat tinggi, cukup kering, jumlah awan dalam setahun relatif sedikit, sejauh ini daerah paling cocok Nusa Tenggara Timur yang cocok," tambahnya.
Taufiq mengakui, untuk mendirikan sebuah lokasi penelitian antariksa membutuhkan dana yang tak sedikit. Namun, dia optimistis jika ada itikad baik dari pemerintah, perlahan nama Bosscha akan kembali diakui dunia.
"Minimal kita butuh dana Rp 500 miliar. Dengan kondisi kita punya teleskop yang cukup bagus. Karena saat ini tekhologi kita sudah jauh tertinggal dari negara seperti Thailand," tutupnya.
Sumber: Galamedia.